JSTNEWS COM – Bandar Lampung, 24 Oktober 2024 – Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang Kelas IA pada Kamis pagi melaksanakan eksekusi terhadap bangunan di atas sebidang tanah seluas 686 m² di Kelurahan Sukarame Baru, Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung. Pemilik rumah, Arsiya Erlinda, menolak keras pelaksanaan eksekusi tersebut dan mengungkapkan keberatan dengan penuh emosional. Dia merasa eksekusi dilakukan secara sepihak dan tidak manusiawi, mengingat rumah yang dibangun di atas lahan tersebut telah bersertifikat atas namanya sejak tahun 1998.
Eksekusi ini berlangsung di bawah pengawalan ketat aparat keamanan. Turut hadir kuasa hukum pemohon, Sri Aryani, petugas dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bandar Lampung, serta anggota Polsek Sukarame dan Babinsa setempat. Di lokasi, terlihat Arsiya bersama keluarganya yang terlihat terpukul dengan proses yang dianggap mendadak ini.
Ketegangan Memuncak di Lokasi Eksekusi
Situasi semakin memanas ketika terjadi perdebatan antara petugas pengadilan dan Arsiya Erlinda yang bersikeras menolak eksekusi tersebut. Arsiya dengan tegas menyatakan bahwa dirinya memiliki sertifikat asli atas tanah dan bangunan yang dieksekusi, sehingga merasa tindakan pengadilan tidak adil. “Saya memiliki sertifikat asli nomor 12717/08.0109/12717/S.I. Saya akan mengajukan gugatan bantahan atas eksekusi ini karena saya tidak pernah menerima panggilan sidang setelah kehadiran pertama saya. Bahkan saya mendapat surat eksekusi melalui pesan WhatsApp, bukan secara resmi,” ungkap Arsiya dengan nada emosional.
Rizal, perwakilan dari PN Tanjung Karang, menegaskan bahwa eksekusi ini telah sesuai dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 19/Pdt.Eks.PTS/PN Tjk. juncto Nomor 177/Pdt.G/2022/PN Tjk, yang telah berkekuatan hukum tetap. Ia juga menekankan bahwa ketidakhadiran termohon dalam sidang berikutnya tidak bisa menghentikan eksekusi yang telah diputuskan.
Tangis Histeris di Tengah Penggusuran
Arsiya dan keluarganya tak kuasa menahan tangis saat petugas tetap melanjutkan proses eksekusi. Mereka memohon kepada petugas agar memberikan waktu untuk mengajukan gugatan bantahan serta kesempatan untuk membereskan barang-barang yang ada di dalam rumah. Namun, permohonan tersebut ditolak mentah-mentah oleh petugas.
“Tidak ada eksekusi hari ini, saya menolak! Sertifikat ini adalah bukti hak milik saya. Apa gunanya sertifikat jika rumah saya tetap digusur? Mohon, demi kemanusiaan, kami orang bodoh, terzolimi, dan hanya ini yang kami punya,” teriak Arsiya sambil menangis di depan para petugas yang tak bergeming.
Situasi semakin memanas ketika petugas mulai mendobrak pintu rumah yang terkunci dan mengeluarkan barang-barang milik Arsiya. Hingga pukul 11.30, alat berat masih menghancurkan bangunan rumah sementara anggota kepolisian berjaga di sekitar lokasi. Keluarga Arsiya hanya bisa menangis menyaksikan rumah mereka yang dibangun dengan keringat dan jerih payah bertahun-tahun dihancurkan begitu saja.
Tanda Tanya Atas Sertifikat dan Eksekusi
Dalam keterangannya kepada wartawan, Arsiya Erlinda merasa sangat kecewa dan mempertanyakan alasan eksekusi tersebut. Menurutnya, ada ketidaksesuaian antara lahan yang dieksekusi dengan lahan yang tercantum dalam sertifikat miliknya. “Saya benar-benar kecewa dengan eksekusi ini. Kenapa tanah dan bangunan yang ada di lahan 2160 m² tidak dilakukan apa-apa, padahal ini tidak sesuai dengan penetapan pengadilan,” ujarnya penuh amarah.
Hingga berita ini diturunkan, Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Linga Setiawan, belum memberikan tanggapan resmi terkait permohonan penundaan eksekusi yang diajukan oleh Arsiya. Sementara itu, pihak pengadilan melalui Humas, S. Hidayat, menyatakan bahwa segala keputusan terkait eksekusi berada di tangan Ketua Pengadilan.
Refleksi tentang Keadilan dan Hak Asasi
Kasus eksekusi ini membuka kembali perdebatan tentang pelaksanaan hukum di tanah air. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah pelaksanaan eksekusi ini telah mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Konflik kepemilikan tanah seringkali menjadi persoalan rumit yang tidak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga keadilan bagi masyarakat kecil yang kerap merasa terpinggirkan.
Bagaimana mungkin seorang warga yang memiliki sertifikat tanah harus kehilangan rumah yang telah ia bangun puluhan tahun lamanya? Apakah proses hukum yang tidak diikuti dengan pengawasan ketat dapat benar-benar disebut adil? Pertanyaan-pertanyaan ini mencuat di tengah tangisan histeris Arsiya Erlinda dan keluarganya, yang menyaksikan hasil jerih payah mereka dihancurkan di depan mata.
( Red/*) Rumah Ayuknya Wartawan