Berita Mendidik Citra Bangsa Dan Negara Di Indonesia – Informatif , Aktuual, Baik & Benar – Journalist Society Them

Jose Rizal Manua – Seni Deklamasi Di Kota Yogyakarta Dan Solo, Jawa Tengah

IMG 20240831 WA0143 »

Loading

JST-NEWS.COM | Jose Rizal Manua – Seni Deklamasi Di Kota Yogyakarta Dan Solo, Jawa Tengah.

Oleh; WS Rendra

Pada bulan-bulan di tahun ini kita banyak menyaksikan kegiatan-kegiatan orang dalam seni deklamasi di Yogya, Solo, Semarang, Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, Madiun, dll. Kota lagi.

Malahan PFN (Perusahaan Film Negara, ed.) telah pula menganggap penting untuk memfilmkan sebuah acara deklamasi dalam film wartanya yang terkenal dengan nama Gelora Indonesia itu.

Dalam tulisan ini saya akan membatasi diri dengan hanya akan mencatatkan pembahasan kegiatan itu di kota kecil Yogya – Solo saja, karena baru kegiatan deklamasi dalam dua kota kecil itu saja yang penulis kenal betul-betul.

Jadi dengan pembatasan ini bukanlah maksud penulis menganggap sepi kegiatan-kegiatan deklamasi di kota-kota lainnya, apalagi kota-kota yang lebih besar.

Deklamasi Menjadi Drama

Deklamasi ini adalah merupakan bentuk kesenian yang baru timbul di Indonesia dan mula-mula timbul di kalangan anak-anak muda dari umur belasan tahun serta dengan luas tersiar di kalangan mereka, meskipun di samping itu seni deklamasi juga sangat popular di kalangan mahasiswa.

Di Eropa dan di Amerika kesenian ini terkenal dengan nama “reading”.

Tapi di Indonesia (yang saya tahu betul di Solo – Yogya) orang-orang Eropa dan Amerika sudah tak bisa mengenal lagi kesenian deklamasi ini sebagai “reading” mereka. Kesenian ini di kalangan pemuda-pemuda kita lalu menjadi semacam kesenian yang aneh. Saya akan melukiskannya sebagai berikut: seseorang menghafalkan sebuah sajak, lalu mencoba memaparkan sajak itu kembali kepada orang banyak dengan gerakan-gerakan semacam orang memainkan sebuah adegan yang dramatik dari sebuah sandiwara: yaitu dengan membuat gerakan-gerakan yang lebih dari wajar serta berusaha dengan bunyi yang jauh daripada normal, sambil di sana-sini ia selalu berusaha memberi tekanan pada setiap kata-asal-kata, dan beranggapan bahwa segala-galanya dalam sajak itu perlu ditonjolkan.

Akibatnya kita malahan tak bisa lagi mengenal sajak yang dimaksud itu. Yang kita lihat cuma seorang yang berlaku aneh tanpa arti apa-apa.

Besi Berani Dalam Deklamasi

Secara menarik kita bisa melihat bahwa rupa-rupanya ada sebuah segi dari kesenian deklamasi ini yang memberi kepuasan pada darah muda.

Dan memang bisa kita rasa dengan jelas bahwa membaca sebuah sajak di depan orang banyak itu bisa memberi suasana romantik yang bisa digemari oleh anak-anak muda.

Kecuali itu pemuda-pemuda yang biasanya penuh dengan sentimentalitas itu di dalam deklamasi beroleh kesempatan untuk meluapkan gairah sentimentalitasnya.

Dan kebiasaan mereka untuk memberi tekanan dramatik pada setiap ungkapan jiwa atau ungkapan perasaan atau pemecahan persoalan yang sedang mereka hadapi, di dalam deklamasi mendapat pula kesempatan untuk diluapkan.

Meskipun begitu dalam keadaan yang terkendalikan seni deklamasi ini bisa lebih mendekatkan sajak kepada publiknya dan di samping itu juga mempunyai nilai kesenian yang tersendiri, yaitu keindahan yang menafsirkan, yang bisa dirasakan dan keindahan suara yang bisa didengarkan, serta keindahan suasana yang bisa dilihat.

Kegiatan Dewasa Ini

Mengingat kemungkinan ini maka haruslah diusahakan orang agar kegiatan yang meluap dalam kesenian deklamasi ini mendapat saluran dan didikan yang baik, yaitu dengan kritikan-kritikan dan bentuk-bentuk perhatian yang lain yang dapat mendorong kegiatan itu.

Sebab itu saya merasa sangat penting untuk mencatatkan di sini, bahwa di Solo pada bulan Maret yang telah jauh lewat (1957) beberapa orang pemuda telah menghimpun dirinya dan bersama-sama berlatih deklamasi di bawah asuhan penyair-penyair muda Armaya, B. Sutiman, dan Mansur Samin.

Dan kira-kira bersamaan waktu dengan itu Himpunan Budaya Surakarta pun juga melatih anggota-anggotanya berdeklamasi.

Sedang di Yogyakarta seorang penyair muda Timbul Darminto telah mendirikan pula sebuah organisasi yang bernama Himpunan Peminat Deklamasi Yogyakarta dengan dewan penasehat yang terdiri dari Anantaguna, Setiawan H,S, Nusananta, dan lain-lain. Organisasi ini telah berdiri sejak kira-kira Juni yang lalu (1957), dan selama ini telah berulangkali mengadakan latihan-latihan yang bersemangat dan para pengurusnya telah mengundang pula beberapa orang yang terkemuka dalam dunia kesenian untuk memberikan sekedar pembicaraan mengenai deklamasi, di antaranya Subagio Sastrowardojo.

Usaha-usaha semacam itu memang pantas kita hargakan. Dan kita harus ikut mendorongnya. Tapi sampai sekarang kita masih belum bisa puas dengan hasil-hasil mereka.

Dalam berbagai-bagai perlombaan deklamasi yang diadakan tahun ini (1957), di antaranya lomba deklamasi untuk seleksi ke Pekan Pemuda di bulan Maret yang lalu, kemudian lomba deklamasi di Solo berkenaan dengan Hari Chairil Anwar, lalu lomba deklamasi untuk merebut juara Yogyakarta yang diadakan baru-baru ini, semuanya masih menyuguhkan deklamasi-deklamasi yang belum memenuhi syarat meski pada acara finalnya.

Bagaimana pun juga kita dapat juga menemukan beberapa deklamator yang memang baik di antara mereka. Ialah Rondang Tobing (juara deklamasi se Indonesia di Pekan Pemuda I), Arby Samah, Abdul Nur, Uli Tobing, Imam Sutresno, dan Irene Quik dari Solo. Sementara itu beberapa orang anggota dari himpunan-himpunan deklamasi itu belum mencapai nilai yang kita harapkan.

Kebanyakan daripada mereka yang belum bisa kita banggakan itu masih belum berhasil menangkap pengertian apakah deklamasi itu. Kebanyakan dari mereka dalam berdeklamasi berbuat aneh seperti yang telah saya ceritakan di atas.

Jiwa Deklamasi

Apakah berdeklamasi itu sebenarnya?Berdeklamasi adalah kerja mewartakan sajak dengan lisan-sajak sendiri atau sajak orang lain.

Jadi kita pertama harus tak boleh lupa bahwa yang diucapkan dalam deklamasi itu adalah sajak. Penyair dalam menulis sajak bersenjatakan kata-kata.

Dari kata-kata ia menyusun pengertian yang puitis. Dari kata-kata ia membuat irama. Dari kata-kata ia lukiskan suasana yang puitis.

Dari kata-kata ia menciptakan perbandingan-perbandingan. Maka dari itu deklamator tak boleh melupakan fungsi kata-kata ini.

Kata-kata harus diucapkan dengan jelas dan tepat-tekanan yang tepat serta intonasi yang tepat pula. Mimik dan gerak cuma punya kepentingan yang menyusul.

Tak boleh dilupakan pula bahwa irama serta lagu (biar dalam pengertian yang paling abstrak dan tersembunyi sekali pun) mempunyai arti yang sangat penting di dalam sajak. Irama serta lagu yang akan bisa ditangkap telinga orang itulah nanti yang akan membedakan apakah seseorang sedang membaca sajak ataukah sedang membaca sebuah prosa.

Jadi sangat tidak tepat apabila (seperti yang sangat sering terjadi) dalam berdeklamasi seseorang terlalu banyak mengerjakan gerak dan mimik, sehingga kadang-kadang melupakan kelancaran irama sajak.

Bahkan sering terjadi mereka mengadakan perhentian-perhentian yang tentu saja mematahkan irama sajak secara tidak tepat hanya untuk menciptakan suasana dramatis yang berlebih-lebihan dengan mimik dan gerak.

Sudah barang tentu hal yang begini sangat memisahkan hadirin dengan pengertian sajak. Sebaliknya hadirin disuguhi oleh sebuah adegan dramatik dari sebuah sandiwara.

Itulah dia!

Cara berdeklamasi yang baik sekali bisa kita lihat pada Rondang Tobing. Dalam berdeklamasi ia bisa menyuguhkan sebuah sajak dalam suasana yang utuh kepada kita.

Suaranya terdengar matang dan tepat dalam membawakan irama, sehingga kita bisa lekas tahu sajak siapa yang sedang ia deklamasikan melulu dari mendengar bagaimana ia membawakan irama sajak itu. Mimik dan gerak pada Rondang sederhana dan tak merusak sajak.

Deklamator yang paling tepat dan pandai membawakan irama ialah Abdul Nur. Ia mempunyai keahlian memberi corak pada irama, sehingga keharuan kita dengan mudah bisa menangkap apakah ia bermaksud memberi suasana yang sedih atau ria atau tenang.

Sedangkan pada Arby Samah kita bisa merasakan bagaimana ia selalu tepat memberi tafsiran pada sajak-sajak yang ia deklamasikan. Ia sangat tenang dan jauh dari sifat sentimental, serta ia mempunyai gaya yang meyakinkan kita bahwa ia mempunyai pengertian yang masak.

Seorang deklamator harus pula mempunyai suara yang baik.

Karena kata-kata penyair yang biasanya ditangkap orang setelah dituliskan, dalam deklamasi kata-kata penyair itu ditangkap orang karena disuarakan. Jadi saya kira sudah cukup jelas bahwa “seni menyuarakan sajak” menurut kecakapan suara sebagai hal yang pokok. Gerak dan mimik adalah penambahan belaka.

Basis, 9 Januari 1958

WS RENDRA DI TAMAN ISMAIL MARZUKI

BERTEMPAT di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Kamis, 17 April 1969, jam 20.00 akan diadakan Malam Puisi. Penyair/ dramawan WS Rendra akan membacakan sajak-sajak ciptaannya, baik yang sudah maupun yang belum pernah diumumkan.

Ini adalah poetry reading yang pertama di Indonesia.16 April 1969.

Reportnews©31/8/2024/Dikutip Review:Rumah The Best Arast/Jakarta Utara/JST-NEWS 


























































You cannot copy content of this page